phone: +420 776 223 443
e-mail: support@londoncreative.co.uk

Perempuan Pembenci Lelaki (3)


Sepuluh menit lagi giliranku memberikan materi untuk anak-anak SD ini. Mbak Ida, guru agama di SD Tukangan tampak sedang memberikan arahan bahwa sebentar lagi akan ada Ustadz keren dari UIN yang akan mendongeng.

Hahhh.. Mendongeng? Aku yang salah dengar, atau si murid kemarin yang salah memberikan informasi ataukah si guru agama ini yang sedang bercanda. Ahhh…. Tak tahu lah.. Yang penting aku akan memberikan materi dengan caraku sendiri..

"Baik, kita sambut Ustadz kondang kita dengan tepuk tangan yang meriah dan ucapan salam!"  Bu Ida memberikan awalan.

"Terima kasih Bu Ida."

Kuraih dengan cepat mikropon yang ada di tangan Bu Ida dan segera kuteriakkan.

"Baik adik-adik… Assalamu'alaikm warohmatullohi wabarokatuuuuuuuhhhhh…..!!"

"Wassalamu'alaikm warohmatullohi wa barokatuuuuuuhhhh!"

Murid kelas empat lima dan enam itu secara serentak tanpa dikomando membalas salamku tapi dengan lemah dan malu-malu. Aku pastikan mereka akan bersenang-senang kali ini. Anak-anak seusia mereka tak akan masuk jika diceramahi dengan cara yang biasa. Harus ada cara kreatif yang membuat mereka tetap antusias dan merasa tak digurui. Cerita dan dongeng adalah salah satu cara yang efektif untuk memasukkan nilai-nilai tertentu ke dalam diri anak-anak.

Kuulangi salam ku dan kutambahi dengan bertanya kabar mereka.

"Selamat pagi adik-adik. Bagaimana kabar pagi ini?"

Sebagian malu-malu menjawab. Satu dua ada menjawab sehat. Beberapa ada yang menjawab "baik". Mereka tak terbiasa ditanya kabar dan salam model seperti ini.

"Baik ya, kalauditanya bagaimana kabarnya, jawabnya Alhamdulillah Ruar Biasa Allohu Akbar! Ruar Biasanya pake R- ya bukan pake L."

"Bagaimana kabarnya pagi ini adik-adik sekalian?"

"Alhamdulillah Ruar Biasa Allohu Akbar."

"Mantap. Sekarang dengan gaya atau gerakan ya. Sekarang menjawabnya dengan gerakan dan teriakan. Alhamdulillahnya dengan berdiri dari duduk. Ruar biasa dengan kedua tangan mengepal didepan dada. Dan Allohu Akbarnya dengan meloncat sambil mengepalkan tangan ke udara bersama--sama.. Bisa dipahami!"

"Pahaaaammmmmm, Ustaaaadzzz!"

Aku tak pandai mendongeng, tapi aku terlatih untuk memberikan training ke pelajar dan mahasiswa saat masih di Surabaya dulu. Aku dan kawan-kawan saat masih dibangku sekolah sudah merintis lembaga training berbasis pelajar yang sudah berjalan sekitar setahun lebih dan sudah mentraining ratusa pelajar bahkan sudah ribuan.

Sore yang menyegarkan walau suaraku habis untuk berteriak-teriak dihadapan hampir seratusan anak-anak SD Tukangan. Materi-materi sederhana kuberikan dengan gaya bercerita yang asyik. Kucampur sedikit dengan game-game dan pertanyaan. Bagi siapa yang bisa menjawab pertanyaan dan menyelesaikan game, akan mendapatkan hadiah yang sudah disediakan panitia guru satu kardus aneka keperluan alat tulis menulis.

Pesantren kilat kututup dengan doa, buka puasa dan sholat maghrib berjamaah.Hari yang melelahkan bagiku tapi hatiku tersenyum merekah. Apakah ada yang lebih membahagiakan bagi seorang guru selain melihat murid-muridnya tampak riang menjalani proses belajar mengajar dan menjalankan ibadah puasa dengan khidmat.

Pahlawan tanpa tanda jasa? Tidak juga, hehehe… Sang kepala sekolah memberikan sebuah amplop kecil berisi rupiah tanda penghargaan dan balas budi atas waktu luangku memberikan sedikit motivasi dan inspirasi kepada adik-adik Tukangan. Isi rupiahnya cukup lumayan bagi seorang mahasiswa miskin sepertiku. Uang seratus ribu bagi guru TPA dan mahasiswa UIN bisa digunakan untuk makan selama dua minggu penuh.

Satu persatu adik-adik murid SD Tukangan berangsur dijemput dan pulang kerumah masing-masing. Aku masih belum ingin pulang sebelum menyapa gadis penjaga warnet yang ternyata adalah seorang guru. Dia mengajar pramuka di SD ini, dan juga menjadi guru PAUD di Dusun sebelah, sekaligus menjaga warnet. Aku heran saja. Untuk apa gadis ini terkesan menghabiskan seluruh waktu dan pikirannya untuk mengajar. Sepertinya ia sedang menghindari sesuatu.

Gadis? Aku menyebutnya Kingkin sebagai seorang gadis. Aku tak tahu. Aku hanya mengira-ngira. Lebih tepatnya sok tahu dan berharap bahwa ia masih gadis dan bukan milik siapa-siapa. Dari lagak dan gayanya, sepertinya masih gadis. Tapi kurang tahu juga siy. Aku hanya bertanya-tanya pada diriku sendiri, kenapa gadis-gadis berkerudung rapi itu lebih mempesonaku ketimbang gadis-gadis cantik ala model yang berseliweran bergaya bak bule kesasar. Sepertinya selerakku sudah berubah aneh sejak mengenal agama.

0 komentar:

Perempuan Pembenci Lelaki (2)


Udara dan tingkat polusi di Jogja sudah tidak sebersih empat tahun yang lalu saat aku menginjakkan kakikku pertama kali di Jogja. Walau tradisi dan program pemerintah untuk menggunakan sepeda ke manapun warga Jogja pergi, tetapi tetap saja motor dan mobil pribadi jadi pilihan yang masuk akal ditengah terik mentari yang menyengat dahsyat menguras tiap tetes keringat warga Jogja. Dulu saat bermotor tak mengunakan masker wajah tak jadi masalah, sekarang aku akan terbatuk-batuk kalau tak mengenakan kain penutup muka. Udara di Jogja memang mulai payah.

Orang bilang kalau puasa itu yang paling berat adalah menahan haus dan pandangan. Aku merasa tenggorokanku siang ini begitu kering dan cairan dalam tubuh seolah menguap sampe habis. Kepala berkunang-kunang dan pikiran melayang-layang. Walau bulan Ramadhan berlangsung dan sudah ada teguran dari aparat desa setempat, tetap saja ada satu dua pemilik warung yang membandel membuka lapaknya  disaat orang-orang sedang menunaikan ibadah puasa. Yang biasanya aku tak terlalu doyan Es Oyen dan Es Campur, namun siang duo es kembar siam ini benar-benar membuatku harus menahan air liur. Seperti orang yang sedang ngidam saja diriku ini. Padahal ketika tak puasa, aku juga gak ngiler-ngiler banget, tapi kali ini tarikannya begitu kuat.

Aku putuskan untuk kembali ke kamar dan menyiapkan materi untuk Pesantren Kilat sore ini.

Hal yang mengejutkan dan menggembirakan saat mengisi Pesantren Kilat anak SD adalah aku harus benar-benar bisa mengorkestrasi seiisi kelas. Kujamin adik-adik yang ikut di trainingku lupa dengan rasa dahagaku yang teramat sangat, lapar dan lelah. Mereka berteriak-teriak girang saat mengikuti training yang kubawakan.

Pak Abbas adalah sosok takmir dan tokoh agama yang cukup dikenal dan disegani di kampung ini. Beliaulah yang memberikan dukungan secara penuh kepadaku. Bahkan kalau aku sedang memang lapar bisa  makan ditempatnya. Beliau juga tak segan-segan meminjamkan motor-motor barunya kepadaku. Aku sampai sungkan juga dibuatnya karena aku bukan siapa-siapa dan belum pantas mendapatkan penghormatan dan pelayaan seperti ini.

Kuputuskan sore ini aku meminjam motor Pak Abbas agar segera sampai di sekolahan. Aku tiba  tiga puluh menit lebih awal sebelum giliranku mengisi thausiyah dan training Pesantren Kilat.

Kadang aku sempat berpikir dan tertawa sendiri melihat sekolah-sekolah pemerintah ini hanya memberikan porsi dua jam pelajaran agama di akhir pekan dan berlomba-lomba membuat pesantren kilat dua tiga hari saat Ramadhan. Daripada tidak ada pelajaran agama sama sekali, dua jam pelajaran tiap akhir pekan dan pesantren kilat itu sudah lumayanlah untuk pendidikan agama par a siswa. Padahal agama inilah pondasi karakter para manusia dibangun dan dibentuk. Agama disekolah-sekolah pemerintah hanya menjadi ajang hafal menghafal dan teori tanpa praktek saja. menyedihkan memang, tapi mau tak mau aku harus menyelesaikan amanahku di pesantren kilat di sekolah SD ini.

Motor kuparkir didepan ruang guru dan secara tak sengaja aku melihat gadis penjaga warnet itu ada disana juga. Berpakaian seragam batik seperti guru-guru yang lainnya. Jilbab hijaunya melambai-lambai seolah menyapaku dengan riang. Aha, apakah ini kebetulan? Ataukah justru suatu pertanda akan hadirnya takdir cinta yang unik? Aku tak tahu, akan kucari jawabannya sendiri. Kuparkir dengan dan aku memotong dihadapan si gadis penjaga warnet.

"Assalamu'alaikm, Mbak.. Ketemu lagi. Masih ingat saya gak? Kita ketemu di warnet kapan lalu."

"Wa'alaikumussalam Pak… Iya saya ingat. "

"Wah, panjang umur juga ya bisa bertemu lagi. Saya panggilnya Mbak, Ibu atau Tante, ya? Soalnya khan sudah Bu Guru niy."

"Panggil aja Kingkin. Jangan Bu. Belum jadi ibu-ibu kok Pak Ustadz."

Muka gadis desa ini berubah menjadi merah. Candaan kecilku rupanya membuatnya tersipu. Ahaa.. Kingkin. Nama yang aneh jika diucapkan dan gatal jika terdengar ditelinga. Sepertinya baru kali ini aku mendengar ada orang bernama Kingkin.

(bersambung)



0 komentar:

Cerita # 1 : Perempuan Pembenci Lelaki


"Perempuan itu seperti tulang, ketika patah, sulit sekali untuk menyembuhkannya secara total."

Menjelang malam aku memboyong dua kardus buku dan setumpuk pakaian ke kost baruku. Tempat yang kupilih karena memang dekat dengan kampus dan bisa kucapai hanya dengan berjalan kaki kalau suatu saat motorku mogok. Alasan kedekatan memang bukan yang utama, tapi itu juga yang menentukan apakah nantinya bagaimana perkuliahankku di kampusku yang baru ini. Alasan lain yang banyak dipakai mahasiswa miskin sepertiku dalam memilih hunian kost adalah faktor murah dan nyaman. Murah bagiku adalah segala-galanya. Bagaimana uang lima ribu ini bisa untuk seharian. Bagaimana agar penghasilanku yang tak seberapa dari mengajar private ini sebanding dengan pengeluaran keseharianku.

Kalau nyaman itu berarti tempat kost itu harus menentramkan jiwa raga dan pikiran. Karena kudengar dari kawan-kawan sekampus banyak dari mereka yang mendapati induk semang mereka over protective dan over action. Anak-anak kost ditempatnya dianggap sebagai tahanan yang segala aktivitasnya dipelototi  satu persatu. Tak ada privasi dan kebebasan ditempat seperti ini.

Kota Yogya memang luar biasa. Manusia seperti yang terbiasa hidup di kota metropolitan awal-awal tinggal disini sempat terkaget-kaget ketika mendapati sebungkus nasi harganya seribu rupiah. Gila sekali. Namanya pun lucu, Nasi Kucing. Emangnya kita kucing apa? Awal-awal memang agak kurang kenyang karena terbiasa makan sepiring penuh, sekarang mau tak mau harus melahap sebungkus nasi yang besarnya kurang dari sekepalan tangan orang dewasa.

Tentang perut, uang dan gelisah agama aku akan ceritakan nanti saja. Malam ini ada satu hal yang sedikit mengusik pikiranku yang terbang kemana-mana seperti  layang-layang yang talinya putus tak jelas kemana. Sore tadi aku sempat bertemu dengan seorang perempuan saat mampir ke warnet terdekat. Dia petugas penjaga di warnet ABADI.NET. Parasnya yang ayu, pembawaannya kalem, wajah keibuan, mengingatkanku pada  sosok perempuan yang pernah hinggap di hatiku saat masih di Surabaya. Sedari sekolah aku selalu tergila-gila dengan perempuan alim, keibuan, halus, lembut, periang, manis dan dewasa yang kekanak-kanakan. Perempuan ideal menurutkku adalah mereka yang tahu kapan menjadi seorang istriyang hebat, kekasih dengan penuh perhatian, sahabat disaat kesepian, dan kanak-kanak disaat suasana tak lagi mengasyikkan. Gadis penjaga warnet itu memiliki semua kriteria karakter sosok yang kuimpikan, tapi satu hal yang tak kupahami adalah kenapa matanya begitu layu.

Sambil browsing beberapa artikel untuk keperluan tugas kampus, aku sambil membuka akun fesbukku. Mencoba membaca dinding status kawan-kawan yang kebanyakan sedang galau. Akan tetapi perhatianku tak bisa lepas dari gadis didekat pintu masuk itu. Konsentrasiku sudah pecah dan tak lagi berminat untuk mencari artikel karena rasa penasaranku dengannya.

Pandanganku sudah tak lagi menghadap ke monitor. Rasa penasaran begitu menyeruak dan menguras seluruh energiku. Aku mengendap di belakangnya dan bermaksud berbasa-basi agar bisa sekadar menatap wajahnya lekat dari dekat.

"Mbak, kalau mau ngeprint, bisa gak ya?" tanyaku berpura-pura.

"Ohh…. Maaf Mas, ini kebetulan pas printernya agak error, jadi mohon maaf sekali belum bisa melayani kalau ada pelanggan yang butuh ngeprint!"

"Ya.. Gak apa-apa.. O iya, mbak sudah lama kerja disini?"

"Emmmhh.. Belum lama siy.. Baru tiga bulan Mas."
Dia menjawab seperlunya dan tampak sangat berhati-hati dan tak mau terlibat pembicaraan lebih jauh. Jawaban sepatah dua kata menunjukkan bahwa dia sedang tak ingin didekati oleh lelaki manapun. Dia hanya menjawab pertanyaan yang kuajukan, tanpa tertarik untuk tahu lebih dalam siapa lawan bicara. Pikiranku berulah dan mencari-cari cara apa yang harus kuucapkan agar bisa menarik perhatiannya.

"Emang kerja disini jam kerjanya dari jam berapa sampe jam berapa Mbak?"

"Masuk dari jam delapan sampe Ashar, Mas."

"Emang, mbaknya lulusan apa? Kok kerja disini? Kok dari wajahnya dan gayanya seperti anak kulahan gitu."

"Aku hanya ambil D-2 Guru TK, Mas. Ini juga nyambi jadi guru Paud di kampung sebelah."

"Menarik ya bisa punya banyak kerjaan gitu. Berarti duitnya banyak dong? Hehehee…."

"Gak juga kok Mas. Ini juga penghasilannya tak seberapa. Yang penting aku gak lagi minta orang tua, itu sudah alhamdulillah."

"Mbak.. Maaf aku harus pamit dulu, ini aku harus menyelesaikan pindahan barang dan ngeprint di tempat lain dulu ya. Ini juga sudah menjelang Maghrib, mau menyiapkan buka puasa dulu Mbak.. Aku pamit……"

"Makasih dan hati-hati Mas, terima kasih sudah mampir."

Aku telah berhasil memecah kebekuan sosok gadis dingin ini. Walau masih belum hangat benar, paling tidak dia mau ngobrol denganku. Terlalu terlena dengan pesona gadis desa ini aku sampai lupa waktu dan juga tak menanyakan siapa namanya. Diri memaki dan membodoh-bodohkan sendiri karena begitu gugup di depan gadis desa penjaga warnet.

^^^^^^

Karena kuliahku di UIN Sunan Kalijaga mengambil spesialisasi Sastra Arab dan bacaan Al-Qur'an-ku cukup tartil, warga sekitar masjid tempat aku kost memanggilku dengan sebutan Ustadz. Panggilan yang sebenarnya tak pantas bagi mantan berandal yang bertobat ini. Gelar itu terlalu untukku. Orang Surabaya sepertiku sudah cukup bahagia dan puas jika  dipanggil Mas saja.

Belum genap dua minggu aku tinggal dilingkungan kampung itu, tapi kepercayaan masyarakat begitu besar kepadaku. Aku diminta secara langsung oleh takmir masjid untuk menjadi guru ngaji bagi adik-adik TPA dan remaja di masjid sebelah kost-anku. Walaupun secara finansial aku tak mendapatkan apa-apa, tapi kepercayaan warga ini adalah keistimewaan yang tak bisa diukur dengan materi sebesar apapun. Bahagia sekali rasanya di bulan yang suci ini bisa mendampingi warga kampung ini mengaji.

Selepas  mengimami sholat tarawih dan memberi kultum, seorang santri TPA-ku mendekatiku dan bertanya.

"Ustadz, hari Sabtu ini sekolah kami ada Pesantren Kilat, apa Ustadz bisa ngisi? Ini permintaan langsung dari Kepala Sekolah dan Guru Agama kami."

"Lha kok aku dik? Bukannya sudah ada Guru Agama dan Ustadz-ustadz yang lain yang lebih pintar?"

"Guru Agama kami inginnya Ustadz yg mengisi, ini juga rekomendasi dari Bu Abbas, istrinya Pak Takmir."

"Ya sudah, bilang saja ke Guru Agamamu, Ustadz bisa."

Entah aku akan mengisi materi apa nanti pas Pesantren Kilat. Tapi pengalamanku jadi trainer di beberapa kota di sekitar Surabaya adalah modal kuat untuk bisa mengambil kesempatan ini.

^^^^
(bersambung)

0 komentar: