Cerita # 1 : Perempuan Pembenci Lelaki
"Perempuan itu seperti tulang, ketika patah,
sulit sekali untuk menyembuhkannya secara total."
Menjelang malam aku memboyong dua kardus buku dan setumpuk pakaian ke kost baruku. Tempat yang kupilih karena memang dekat dengan kampus dan bisa kucapai hanya dengan berjalan kaki kalau suatu saat motorku mogok. Alasan kedekatan memang bukan yang utama, tapi itu juga yang menentukan apakah nantinya bagaimana perkuliahankku di kampusku yang baru ini. Alasan lain yang banyak dipakai mahasiswa miskin sepertiku dalam memilih hunian kost adalah faktor murah dan nyaman. Murah bagiku adalah segala-galanya. Bagaimana uang lima ribu ini bisa untuk seharian. Bagaimana agar penghasilanku yang tak seberapa dari mengajar private ini sebanding dengan pengeluaran keseharianku.
Menjelang malam aku memboyong dua kardus buku dan setumpuk pakaian ke kost baruku. Tempat yang kupilih karena memang dekat dengan kampus dan bisa kucapai hanya dengan berjalan kaki kalau suatu saat motorku mogok. Alasan kedekatan memang bukan yang utama, tapi itu juga yang menentukan apakah nantinya bagaimana perkuliahankku di kampusku yang baru ini. Alasan lain yang banyak dipakai mahasiswa miskin sepertiku dalam memilih hunian kost adalah faktor murah dan nyaman. Murah bagiku adalah segala-galanya. Bagaimana uang lima ribu ini bisa untuk seharian. Bagaimana agar penghasilanku yang tak seberapa dari mengajar private ini sebanding dengan pengeluaran keseharianku.
Kalau nyaman itu
berarti tempat kost itu harus menentramkan jiwa raga dan pikiran. Karena
kudengar dari kawan-kawan sekampus banyak dari mereka yang mendapati induk
semang mereka over protective dan over action. Anak-anak kost ditempatnya
dianggap sebagai tahanan yang segala aktivitasnya dipelototi satu persatu. Tak ada privasi dan kebebasan
ditempat seperti ini.
Kota Yogya memang
luar biasa. Manusia seperti yang terbiasa hidup di kota metropolitan awal-awal
tinggal disini sempat terkaget-kaget ketika mendapati sebungkus nasi harganya
seribu rupiah. Gila sekali. Namanya pun lucu, Nasi Kucing. Emangnya kita kucing
apa? Awal-awal memang agak kurang kenyang karena terbiasa makan sepiring penuh,
sekarang mau tak mau harus melahap sebungkus nasi yang besarnya kurang dari
sekepalan tangan orang dewasa.
Tentang perut, uang
dan gelisah agama aku akan ceritakan nanti saja. Malam ini ada satu hal yang
sedikit mengusik pikiranku yang terbang kemana-mana seperti layang-layang yang talinya putus tak jelas
kemana. Sore tadi aku sempat bertemu dengan seorang perempuan saat mampir ke
warnet terdekat. Dia petugas penjaga di warnet ABADI.NET. Parasnya yang ayu,
pembawaannya kalem, wajah keibuan, mengingatkanku pada sosok perempuan yang pernah hinggap di hatiku
saat masih di Surabaya. Sedari sekolah aku selalu tergila-gila dengan perempuan
alim, keibuan, halus, lembut, periang, manis dan dewasa yang kekanak-kanakan.
Perempuan ideal menurutkku adalah mereka yang tahu kapan menjadi seorang
istriyang hebat, kekasih dengan penuh perhatian, sahabat disaat kesepian, dan
kanak-kanak disaat suasana tak lagi mengasyikkan. Gadis penjaga warnet itu
memiliki semua kriteria karakter sosok yang kuimpikan, tapi satu hal yang tak
kupahami adalah kenapa matanya begitu layu.
Sambil browsing
beberapa artikel untuk keperluan tugas kampus, aku sambil membuka akun
fesbukku. Mencoba membaca dinding status kawan-kawan yang kebanyakan sedang
galau. Akan tetapi perhatianku tak bisa lepas dari gadis didekat pintu masuk
itu. Konsentrasiku sudah pecah dan tak lagi berminat untuk mencari artikel
karena rasa penasaranku dengannya.
Pandanganku sudah
tak lagi menghadap ke monitor. Rasa penasaran begitu menyeruak dan menguras
seluruh energiku. Aku mengendap di belakangnya dan bermaksud berbasa-basi agar
bisa sekadar menatap wajahnya lekat dari dekat.
"Mbak, kalau mau ngeprint, bisa gak ya?" tanyaku
berpura-pura.
"Ohh….
Maaf Mas, ini kebetulan pas printernya agak error, jadi mohon maaf sekali belum
bisa melayani kalau ada pelanggan yang butuh ngeprint!"
"Ya..
Gak apa-apa.. O iya, mbak sudah lama kerja disini?"
"Emmmhh.. Belum lama siy.. Baru tiga bulan
Mas."
Dia menjawab
seperlunya dan tampak sangat berhati-hati dan tak mau terlibat pembicaraan
lebih jauh. Jawaban sepatah dua kata menunjukkan bahwa dia sedang tak ingin
didekati oleh lelaki manapun. Dia hanya menjawab pertanyaan yang kuajukan,
tanpa tertarik untuk tahu lebih dalam siapa lawan bicara. Pikiranku berulah dan
mencari-cari cara apa yang harus kuucapkan agar bisa menarik perhatiannya.
"Emang
kerja disini jam kerjanya dari jam berapa sampe jam berapa Mbak?"
"Masuk dari jam delapan sampe Ashar, Mas."
"Emang,
mbaknya lulusan apa? Kok kerja disini? Kok dari wajahnya dan gayanya seperti
anak kulahan gitu."
"Aku hanya ambil D-2 Guru TK, Mas. Ini juga nyambi jadi guru Paud di kampung sebelah."
"Aku hanya ambil D-2 Guru TK, Mas. Ini juga nyambi jadi guru Paud di kampung sebelah."
"Menarik
ya bisa punya banyak kerjaan gitu. Berarti duitnya banyak dong?
Hehehee…."
"Gak juga kok Mas. Ini juga penghasilannya tak seberapa. Yang penting aku gak lagi minta orang tua, itu sudah alhamdulillah."
"Mbak.. Maaf aku harus pamit dulu, ini aku harus menyelesaikan pindahan barang dan ngeprint di tempat lain dulu ya. Ini juga sudah menjelang Maghrib, mau menyiapkan buka puasa dulu Mbak.. Aku pamit……"
"Makasih dan hati-hati Mas, terima kasih sudah mampir."
"Gak juga kok Mas. Ini juga penghasilannya tak seberapa. Yang penting aku gak lagi minta orang tua, itu sudah alhamdulillah."
"Mbak.. Maaf aku harus pamit dulu, ini aku harus menyelesaikan pindahan barang dan ngeprint di tempat lain dulu ya. Ini juga sudah menjelang Maghrib, mau menyiapkan buka puasa dulu Mbak.. Aku pamit……"
"Makasih dan hati-hati Mas, terima kasih sudah mampir."
Aku telah berhasil
memecah kebekuan sosok gadis dingin ini. Walau masih belum hangat benar, paling
tidak dia mau ngobrol denganku. Terlalu terlena dengan pesona gadis desa ini
aku sampai lupa waktu dan juga tak menanyakan siapa namanya. Diri memaki dan membodoh-bodohkan
sendiri karena begitu gugup di depan gadis desa penjaga warnet.
^^^^^^
Karena kuliahku di
UIN Sunan Kalijaga mengambil spesialisasi Sastra Arab dan bacaan Al-Qur'an-ku
cukup tartil, warga sekitar masjid tempat aku kost memanggilku dengan sebutan
Ustadz. Panggilan yang sebenarnya tak pantas bagi mantan berandal yang bertobat
ini. Gelar itu terlalu untukku. Orang Surabaya sepertiku sudah cukup bahagia
dan puas jika dipanggil Mas saja.
Belum genap dua
minggu aku tinggal dilingkungan kampung itu, tapi kepercayaan masyarakat begitu
besar kepadaku. Aku diminta secara langsung oleh takmir masjid untuk menjadi
guru ngaji bagi adik-adik TPA dan remaja di masjid sebelah kost-anku. Walaupun
secara finansial aku tak mendapatkan apa-apa, tapi kepercayaan warga ini adalah
keistimewaan yang tak bisa diukur dengan materi sebesar apapun. Bahagia sekali
rasanya di bulan yang suci ini bisa mendampingi warga kampung ini mengaji.
Selepas mengimami sholat tarawih dan memberi kultum,
seorang santri TPA-ku mendekatiku dan bertanya.
"Ustadz,
hari Sabtu ini sekolah kami ada Pesantren Kilat, apa Ustadz bisa ngisi? Ini
permintaan langsung dari Kepala Sekolah dan Guru Agama
kami."
"Lha kok aku dik? Bukannya sudah ada Guru Agama dan Ustadz-ustadz yang lain yang lebih pintar?"
"Lha kok aku dik? Bukannya sudah ada Guru Agama dan Ustadz-ustadz yang lain yang lebih pintar?"
"Guru
Agama kami inginnya Ustadz yg mengisi, ini juga rekomendasi dari Bu Abbas,
istrinya Pak Takmir."
"Ya
sudah, bilang saja ke Guru Agamamu, Ustadz bisa."
Entah aku akan
mengisi materi apa nanti pas Pesantren Kilat. Tapi pengalamanku jadi trainer di
beberapa kota di sekitar Surabaya adalah modal kuat untuk bisa mengambil
kesempatan ini.
^^^^
(bersambung)
0 komentar: