Perempuan Pembenci Lelaki (2)
Udara dan tingkat
polusi di Jogja sudah tidak sebersih empat tahun yang lalu saat aku
menginjakkan kakikku pertama kali di Jogja. Walau tradisi dan program
pemerintah untuk menggunakan sepeda ke manapun warga Jogja pergi, tetapi tetap
saja motor dan mobil pribadi jadi pilihan yang masuk akal ditengah terik
mentari yang menyengat dahsyat menguras tiap tetes keringat warga Jogja. Dulu
saat bermotor tak mengunakan masker wajah tak jadi masalah, sekarang aku akan
terbatuk-batuk kalau tak mengenakan kain penutup muka. Udara di Jogja memang
mulai payah.
Orang bilang kalau
puasa itu yang paling berat adalah menahan haus dan pandangan. Aku merasa
tenggorokanku siang ini begitu kering dan cairan dalam tubuh seolah menguap
sampe habis. Kepala berkunang-kunang dan pikiran melayang-layang. Walau bulan
Ramadhan berlangsung dan sudah ada teguran dari aparat desa setempat, tetap
saja ada satu dua pemilik warung yang membandel membuka lapaknya disaat orang-orang sedang menunaikan ibadah
puasa. Yang biasanya aku tak terlalu doyan Es Oyen dan Es Campur, namun siang
duo es kembar siam ini benar-benar membuatku harus menahan air liur. Seperti
orang yang sedang ngidam saja diriku ini. Padahal ketika tak puasa, aku juga
gak ngiler-ngiler banget, tapi kali ini tarikannya begitu kuat.
Aku putuskan untuk
kembali ke kamar dan menyiapkan materi untuk Pesantren Kilat sore ini.
Hal yang mengejutkan
dan menggembirakan saat mengisi Pesantren Kilat anak SD adalah aku harus
benar-benar bisa mengorkestrasi seiisi kelas. Kujamin adik-adik yang ikut di
trainingku lupa dengan rasa dahagaku yang teramat sangat, lapar dan lelah.
Mereka berteriak-teriak girang saat mengikuti training yang kubawakan.
Pak Abbas adalah
sosok takmir dan tokoh agama yang cukup dikenal dan disegani di kampung ini.
Beliaulah yang memberikan dukungan secara penuh kepadaku. Bahkan kalau aku
sedang memang lapar bisa makan
ditempatnya. Beliau juga tak segan-segan meminjamkan motor-motor barunya
kepadaku. Aku sampai sungkan juga dibuatnya karena aku bukan siapa-siapa dan
belum pantas mendapatkan penghormatan dan pelayaan seperti ini.
Kuputuskan sore ini
aku meminjam motor Pak Abbas agar segera sampai di sekolahan. Aku tiba tiga puluh menit lebih awal sebelum giliranku
mengisi thausiyah dan training Pesantren
Kilat.
Kadang aku sempat
berpikir dan tertawa sendiri melihat sekolah-sekolah pemerintah ini hanya
memberikan porsi dua jam pelajaran agama di akhir pekan dan berlomba-lomba
membuat pesantren kilat dua tiga hari saat Ramadhan. Daripada tidak ada
pelajaran agama sama sekali, dua jam pelajaran tiap akhir pekan dan pesantren
kilat itu sudah lumayanlah untuk pendidikan agama par a siswa. Padahal agama
inilah pondasi karakter para manusia dibangun dan dibentuk. Agama
disekolah-sekolah pemerintah hanya menjadi ajang hafal menghafal dan teori
tanpa praktek saja. menyedihkan memang, tapi mau tak mau aku harus
menyelesaikan amanahku di pesantren kilat di sekolah SD ini.
Motor kuparkir
didepan ruang guru dan secara tak sengaja aku melihat gadis penjaga warnet itu
ada disana juga. Berpakaian seragam batik seperti guru-guru yang lainnya.
Jilbab hijaunya melambai-lambai seolah menyapaku dengan riang. Aha, apakah ini
kebetulan? Ataukah justru suatu pertanda akan hadirnya takdir cinta yang unik?
Aku tak tahu, akan kucari jawabannya sendiri. Kuparkir dengan dan aku memotong
dihadapan si gadis penjaga warnet.
"Assalamu'alaikm,
Mbak.. Ketemu lagi. Masih ingat saya gak? Kita ketemu di warnet kapan
lalu."
"Wa'alaikumussalam
Pak… Iya saya ingat. "
"Wah,
panjang umur juga ya bisa bertemu lagi. Saya panggilnya Mbak, Ibu atau Tante,
ya? Soalnya khan sudah Bu Guru niy."
"Panggil aja Kingkin. Jangan Bu. Belum jadi ibu-ibu kok Pak Ustadz."
"Panggil aja Kingkin. Jangan Bu. Belum jadi ibu-ibu kok Pak Ustadz."
Muka gadis desa ini
berubah menjadi merah. Candaan kecilku rupanya membuatnya tersipu. Ahaa..
Kingkin. Nama yang aneh jika diucapkan dan gatal jika terdengar ditelinga.
Sepertinya baru kali ini aku mendengar ada orang bernama Kingkin.
(bersambung)
0 komentar: