phone: +420 776 223 443
e-mail: support@londoncreative.co.uk

Perempuan Pembenci Lelaki (2)


Udara dan tingkat polusi di Jogja sudah tidak sebersih empat tahun yang lalu saat aku menginjakkan kakikku pertama kali di Jogja. Walau tradisi dan program pemerintah untuk menggunakan sepeda ke manapun warga Jogja pergi, tetapi tetap saja motor dan mobil pribadi jadi pilihan yang masuk akal ditengah terik mentari yang menyengat dahsyat menguras tiap tetes keringat warga Jogja. Dulu saat bermotor tak mengunakan masker wajah tak jadi masalah, sekarang aku akan terbatuk-batuk kalau tak mengenakan kain penutup muka. Udara di Jogja memang mulai payah.

Orang bilang kalau puasa itu yang paling berat adalah menahan haus dan pandangan. Aku merasa tenggorokanku siang ini begitu kering dan cairan dalam tubuh seolah menguap sampe habis. Kepala berkunang-kunang dan pikiran melayang-layang. Walau bulan Ramadhan berlangsung dan sudah ada teguran dari aparat desa setempat, tetap saja ada satu dua pemilik warung yang membandel membuka lapaknya  disaat orang-orang sedang menunaikan ibadah puasa. Yang biasanya aku tak terlalu doyan Es Oyen dan Es Campur, namun siang duo es kembar siam ini benar-benar membuatku harus menahan air liur. Seperti orang yang sedang ngidam saja diriku ini. Padahal ketika tak puasa, aku juga gak ngiler-ngiler banget, tapi kali ini tarikannya begitu kuat.

Aku putuskan untuk kembali ke kamar dan menyiapkan materi untuk Pesantren Kilat sore ini.

Hal yang mengejutkan dan menggembirakan saat mengisi Pesantren Kilat anak SD adalah aku harus benar-benar bisa mengorkestrasi seiisi kelas. Kujamin adik-adik yang ikut di trainingku lupa dengan rasa dahagaku yang teramat sangat, lapar dan lelah. Mereka berteriak-teriak girang saat mengikuti training yang kubawakan.

Pak Abbas adalah sosok takmir dan tokoh agama yang cukup dikenal dan disegani di kampung ini. Beliaulah yang memberikan dukungan secara penuh kepadaku. Bahkan kalau aku sedang memang lapar bisa  makan ditempatnya. Beliau juga tak segan-segan meminjamkan motor-motor barunya kepadaku. Aku sampai sungkan juga dibuatnya karena aku bukan siapa-siapa dan belum pantas mendapatkan penghormatan dan pelayaan seperti ini.

Kuputuskan sore ini aku meminjam motor Pak Abbas agar segera sampai di sekolahan. Aku tiba  tiga puluh menit lebih awal sebelum giliranku mengisi thausiyah dan training Pesantren Kilat.

Kadang aku sempat berpikir dan tertawa sendiri melihat sekolah-sekolah pemerintah ini hanya memberikan porsi dua jam pelajaran agama di akhir pekan dan berlomba-lomba membuat pesantren kilat dua tiga hari saat Ramadhan. Daripada tidak ada pelajaran agama sama sekali, dua jam pelajaran tiap akhir pekan dan pesantren kilat itu sudah lumayanlah untuk pendidikan agama par a siswa. Padahal agama inilah pondasi karakter para manusia dibangun dan dibentuk. Agama disekolah-sekolah pemerintah hanya menjadi ajang hafal menghafal dan teori tanpa praktek saja. menyedihkan memang, tapi mau tak mau aku harus menyelesaikan amanahku di pesantren kilat di sekolah SD ini.

Motor kuparkir didepan ruang guru dan secara tak sengaja aku melihat gadis penjaga warnet itu ada disana juga. Berpakaian seragam batik seperti guru-guru yang lainnya. Jilbab hijaunya melambai-lambai seolah menyapaku dengan riang. Aha, apakah ini kebetulan? Ataukah justru suatu pertanda akan hadirnya takdir cinta yang unik? Aku tak tahu, akan kucari jawabannya sendiri. Kuparkir dengan dan aku memotong dihadapan si gadis penjaga warnet.

"Assalamu'alaikm, Mbak.. Ketemu lagi. Masih ingat saya gak? Kita ketemu di warnet kapan lalu."

"Wa'alaikumussalam Pak… Iya saya ingat. "

"Wah, panjang umur juga ya bisa bertemu lagi. Saya panggilnya Mbak, Ibu atau Tante, ya? Soalnya khan sudah Bu Guru niy."

"Panggil aja Kingkin. Jangan Bu. Belum jadi ibu-ibu kok Pak Ustadz."

Muka gadis desa ini berubah menjadi merah. Candaan kecilku rupanya membuatnya tersipu. Ahaa.. Kingkin. Nama yang aneh jika diucapkan dan gatal jika terdengar ditelinga. Sepertinya baru kali ini aku mendengar ada orang bernama Kingkin.

(bersambung)



0 komentar: